SEGENGGAM TANAH MERAH - JUARA FAVORIT 5 LOMBA CERPEN EUREKA BOOKHOUSE

Oleh Eureka | 09 Oct, 2024 |
3368
IMG-BLOG
09 10 2024

Aku mengusap batu yang salah satu ujungnya menghadap ke arah timur. Permukaan benda berukuran sekepal tangan orang dewasa itu terasa hangat oleh pancaran mentari. Sekali lagi air mataku mengalir deras. Peristiwa beberapa hari silam telah membuat jiwaku gersang, berbanding terbalik dengan sepasang netraku. Ingin rasanya aku menggali gundukan tanah di hadapan, merangkulkan lengan pada tubuh yang terbujur kaku di bawah sana.

            Bukannya aku tidak iba pada sakit yang mendera ayah. Aku tahu, Tuhan sudah memutuskan hal yang paling baik. Sisa hidup sungguh menyiksa ayah, kami yang menjadi saksinya secara bergantian. Sosok berjiwa pahlawan itu tak mampu menghabiskan makanannya, sendok yang kuarahkan berulangkali ditolak oleh gelengan lemah. Perihal orang sakit selalu tidak berselera makan sudah menjadi biasa. Terkadang makanan lain masih bisa meningkatkan nafsu makan, asalkan tidak berasal dari rumah sakit. Namun ayah tak ingin makan apapun.

            Aku masih ingat sepuluh hari sebelum kepergian ayah. Lelap kami terenggut oleh erangan menyayat. Aku bangkit dan tidak tahu harus berbuat apa. Sakit itu, dokter sudah berusaha maksimal, mengisyaratkan ayah harus rela menahannya. Akhirnya aku hanya mengusap punggung telapak tangan ayah. Kulit dengan pembuluh nadi dan tulang yang menyembul itu semakin tipis. Aku melafazkan doa sembari menatap perut ayah yang bengkak, berharap sakit itu berpindah padaku. Entah karena usapanku yang lembut atau telah lelah, ayah kembali memejamkan mata. Melupakan rasa sakitnya sejenak.

            “Bagaimana? Kita jual saja?” Suara itu memecah lamunan.

            “Terserah, hal yang paling penting, jangan lupakan ayah.” Aku memang tidak berselera untuk membahas masalah itu.

            Selanjutnya hanya terdengar dengungan dari musyawarah internal. Telingaku tidak dapat menangkap hasil pembahasan malam ini dengan baik. Suara kedua sosok itu yang paling dominan, abang dan ibu tiriku.

            “Tanda tangan, Dik.” Sebuah map dengan beberapa lembar surat disodorkan padaku. Aku hanya menatap benda itu dengan kebisuan.

            “Dik?” Lelaki yang usianya terpaut delapan tahun di atasku itu menepuk pundakku pelan.

            “Bang, kenapa harus secepat ini?” Tenggorokanku seolah tercekik saat menanyakannya.

            “Kenapa? Agar tidak terjadi konflik, Dik. Kau tahu ‘kan, ayah mempunyai anak dari dua istri.” Klise. Kalau saja mereka mempunyai rasa kehilangan seperti yang kurasakan, tentu tidak akan ada yang sempat memikirkan ini.

            “Nanti sajalah, Bang. Aku sedang tidak ingin mengungkit warisan.” Aku menggeser map berwarna kuning itu ke arah abang.

            “Kenapa, Dik? Ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Jangan sampai si pembeli berubah pikiran. Ia sudah berulangkali menawarkan harga tertinggi. Mungkin saja ini adalah tawarannya yang terakhir.” Nada suara lelaki itu terdengar penuh semangat. Seolah ia tengah tidak dirundung duka.

            “Ya, tidak apa-apa. Bukankah ayah juga tidak sempat menikmati hasilnya?” Aku melangkah ke pintu. Air mata sudah menggenang di pelupuk. Aku butuh pergi ke suatu tempat untuk menceritakan keluh kesah.

            Naungan pohon beringin cukup melindungiku dari sengatan sang surya. Aku mengambil sebongkah batu yang cukup besar sebagai alas duduk. Jemariku membelai benda yang bertugas sebagai pengganti nisan, ibarat aku menyalim tangan ayah. Aku mengambil segenggam tanah, mengamatinya lekat. Bahkan tanah makam ayah masih merah, mengapa mereka berani-beraninya membahas warisan?

            Aku sangat menyesali keputusan ayah yang enggan menjual tanah warisan itu. Beberapa calon pembeli kerap menjumpai ayah, berusaha memberikan  penawaran. Alasan ayah selalu serupa, harganya terlalu murah untuk lahan yang memiliki potensi pariwisata. Padahal aku tahu, dibalik itu ayah tidak pernah berniat menjualnya. Akhirnya status mereka tidak pernah menjadi pembeli, semuanya tetap pada kategori calon.

            Bukannya aku menyesal karena ayah tidak menjual tanah itu. Aku tidak gila harta. Aku hanya ingin ayah turut mengecap hasil penjualan tanah itu. Tidak seperti saat ini, hanya kami yang masih bernyawalah yang merasakan kesenangan.

            Ayah telah mengorbankan jiwa dan raganya untuk kehidupan kami. Tubuhnya semakin ringkih karena perjuangan. Aku tahu, penyebab kepergian ayah adalah kepedihan akan derita. Uang, sebuah kata yang menjadi alasan kurusnya tubuh ayah. Aku masih ingat, ketika masih jaya, tubuh ayah tampak bugar. Tapi saat-saat sekarang, ayah telah mempertaruhkan hidupnya demi kuliahku dan sekolah adik. Padahal jelas ada sebuah pilihan yang dapat membahagiakan ayah. Tapi beliau tetap saja bertahan, tidak memindahtangankan lahan itu.

            “Kau ingin apa, Nak?” Percakapan kami tempo hari terbayang jelas, sesaat setelah calon pembeli menghubungi ayah.

            “Tidak ada, Yah.” Aku memang belum memikirkan akan diapakan uang bagianku kelak.

            “Pikirkanlah. Kau ingin membeli sepeda motor?” Ayah berkata dengan mata penuh binar.

            “Tidak usah sepeda motor, Yah. Daripada benda itu, lebih baik aku lanjut S2.” Sontak aku menyesal setelah melihat sinar mata ayah yang meredup. Sepertinya, ayah baru tahu bahwa aku memiliki impian tersembunyi. Hanya saja, tidak berani mengutarakan karena keadaan ekonomi keluarga kami.

            “Bagus itu, Nak. Lebih baik seperti itu.” Ayah mengacungkan jempol. Namun aku dapat melihat sebuah beban baru menumpuk di bahu ayah.

            Tetiba angin berembus kencang, mengembalikan kesadaranku pada dunia nyata. Sekejap saja, dedaunan gugur ke permukaan tanah. Beberapa melewati kepalaku. Entah ke mana perginya matahari. Awan berkabut gelap menyelubungi bumi, siap menumpahkan air dengan deras.

            Aku harus menyudahi pertemuan dengan ayah. Tapi terlambat. Rinai jatuh dan semakin rapat. Kuyup di tubuhku pertanda bahwa beringin ini tidak mampu menghalangi tumpahan air dari langit. Aku terperangkap. Bukit ini tidak menyisakan seorang manusia pun yang dapat menolong. Bersandar pada tubuh pohon, tubuhku meringkuk pasrah.

            Pada gigil tubuh yang semakin hebat, sebuah tangan terulur di hadapanku. Aku menatap wajah tersebut, mataku yang pernuh air sulit mengenali orang. Aku berusaha untuk menyambut uluran tangan, namun kepalaku terasa berat.

            “Dik? Kau kenapa?” Aku baru sadar, suara itu milik abangku.

            “Aku mau menandatangani, asalkan ayah kita berikan bagiannya.” Susah payah lidahku mengucapkan kalimat tersebut.

            “Iya, tenang saja. Bukankah hal ini sudah kita bicarakan tadi malam?”

            Aku tidak ingat ataupun memang tidak menyimak. Tanganku menyambut uluran tersebut. Namun tubuhku terasa sulit untuk bangkit. Kepalaku bagaikan dihantam besi. Seketika semuanya menjadi gelap.   

*Tamat*

 

Biodata Penulis : GETI OKTARIA PULUNGAN

Penulis lahir di Padang Sidempuan dan kini berdomisili di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Gemar mengikuti lomba menulis dan mengirimkan karya ke media. Beberapa naskahnya telah dimuat di Kompas, Analisa, Waspada, dan Padang Ekspress. Penulis juga beberapa kali mendapat penghargaan melalui lomba menulis cerpen, esai, karya tulis, dan fabel. Alamat e-mail : ghea_niz@yahoo.com.

 

Generic placeholder image

DITULIS OLEH

Eureka Writer

Content Writer

Content Writter eurekabookhouse.co.id

New Entry