RAHASIA DELIA - JUARA FAVORIT 9 LOMBA CERPEN EUREKA BOOKHOUSE

Oleh Eureka | 27 Jul, 2024 |
4623
IMG-BLOG
27 07 2024

Aku sedang mengetik tugas kantor ketika Delia datang. “Pa, minggu depan uang buku mau dibayar.” 

            Aku tercenung mendengar kalimat yang baru dilontarkan puteri sulungku. Kemarin adiknya, Dion, juga minta uang buku. Gajian belum tiba, tapi berbagai kebutuhan sudah mengantri.

            “Iya, nanti Papa kasih kalau sudah ada.”

            Setelah Delia beranjak, aku berpikir ke mana mencari pinjaman menunggu awal bulan. Buku-buku itu harus segera dibayar atau anak-anakku terhalang mengikuti ujian.  Sebaiknya pergi lagi ke tempat yang sama seperti kemarin. Hanya dia yang bisa memberi pinjaman cepat.

            Maka siang ini, pas jam istirahat kantor, aku mengemudi mobil menuju ke rumah kakak tertuaku, Kak Hadi.  Tadi kami sudah berkomunikasi untuk janji ketemu.  Untung hari ini kakak ada waktu luang. Ketika tiba di sana, satpam penjaga rumah langsung mempersilakan masuk. Aku menunggu di ruang tamu yang luas.  Berbagai keramik dan lukisan eksklusif menghiasi tempat ini.  Lampu kristal menggantung memperindah suasana. Aku duduk di sofa yang empuk menunggu tuan rumah.

            “Ada apa, Ren?”  Kak Hadi muncul masih dalam balutan busana kerja.  Mungkin dia juga baru sampai.

            “Eh, selamat siang, Kak.  Ini ada sedikit keperluan.”  Aku menyalaminya.  Aroma parfum mahal meliputi ruangan. Sekilas sempat kuamati kalau penampilan kakakku sangat berkelas. Kemejanya bukan merek sembarangan. Demikian juga dengan dasi dan jam tangan.  Judulnya saja kami bersaudara kandung, tapi nasib berbeda.

            Percakapan dimulai dengan mengobrol ngalur-ngidul. Biasalah, basa-basi menanyakan kabar keluarga masing-masing. Kemudian berbagi cerita tentang kegiatan sehari-hari, pekerjaan kantor, dan sebagainya. Hingga akhirnya sampai ke topik utama.

            “Jadi, Kak, ada sedikit keperluan untuk Delia dan Dion.  Kalau boleh, aku pinjam dululah.  Seperti biasa.  Nanti bulan depan dikembalikan.”  Kuutarakan tujuan kemari.

            Kak Hadi mengangguk paham.  Dia pergi sebentar dan keluar membawa amplop. “Ini jumlah yang kamu minta.  Coba dicek dulu.  Tahu peraturannya ‘kan?”

            Aku mengangguk dan setelah itu pamit. Waktu istirahat sudah hampir habis dan  harus segera ke kantor. Demikian juga dengan Kak Hadi.

            Sore hari dengan hati lapang, aku memanggil Delia dan Dion. Lega rasanya bisa memenuhi kebutuhan mereka.  “Ini uang buku kalian.”

            “Dari Paman  Hadi lagi, Pa?”  tanya Delia.

            Aku kaget dan melirik Mamanya yang sedang melipat kain. Dia melihat sekilas namun kembali melanjutkan pekerjaannya. 

            “Biasa ‘kan kalau perlu apa-apa Papa datang ke sana. Dari dulu juga begitu”  Aku berusaha menenangkan puteriku karena tahu dia kurang harmonis dengan pamannya sendiri.

            “Maaf, Pa, aku bukan mau mencampuri urusan Papa Mama.  Tapi, kalau memang harus pinjam uang, kok nggak ke orang lain saja?” Delia jelas-jelas menunjukkan ketidaksukaannya.

            “Kenapa rupanya dengan Paman Hadi?”

            Delia menghela nafas. “Kami keponakannya, Pa, tapi kenapa setiap Papa Mama minjam uang untuk sekolah kami, dia tega memberikan bunga uang.”

            Aku terdiam.  Mamanya juga membisu.  Si bungsu Dion hanya menunduk.

            “Bukannya membantu, dia malah memberatkan kita.  Apa itu namanya saudara?”  Si sulung kali ini benar-benar kesal.

“Sudahlah, Delia, yang penting uang bukumu terbayar,”  hiburku.

“Jangan sampai segitulah, Pa.  Namanya saja keluarga, tapi bisnis tetap bisnis.”

“Nak, Papamu sudah capek. Lain kali kita ngobrol panjang lebar.”  Mamanya berusaha menengahi.

            Delia terdiam. Mungkin dia sadar kalau kurang etis beragumen dengan orang tua.  Bersama Dion, akhirnya mereka kembali ke kamar masing-masing. Aku memandang Mamanya tanpa mampu berucap apapun.  Tak menyangka kata-kata seperti itu bisa keluar dari si sulung yang masih duduk di bangku SMA.

==  0 ==

            “Papa, Mama, Paman Riko datang!”  Dion memberitahu kami yang sedang duduk di halaman belakang.  Ada apa sore begini adikku itu datang?

            “Tumben mereka datang.  Saat kita susah jarang muncul.  Tapi, kalau ada perlunya pasti muncul.”  Delia yang sedang membaca buku berbisik sinis.

            “Delia!”  Mama langsung menegur.

            Gadis itu cemberut dan sambil terus membaca.

            “Hai, lagi sibuk semua?”  Om Riko dan istrinya, Tante Lila menyusul ke halaman belakang.

            “Nggaklah.  Kami lagi bersantai kok.”  Mama menjawab sambil tersenyum.

            “Delia lagi ngapain tuh?” tanya Tante Lila sambil memandang buku di tangan puteriku.

            “Baca, Tante,”  jawab Delia singkat.

            “Aduh, Anak Gadis, jangan baca melulu.  Keluar rumah, bergaul, jangan temannya hanya buku ... laptop ... buku ... laptop ... !”  Tante Lila mulai lagi dengan kebiasaannya.  Semua orang dikomentari.

            Aku melirik istriku.  Dia juga kelihatan cemas.  Kami sudah hafal kebiasaan Delia kalau tersinggung. 

            Gadis itu membungkam, tapi segera beranjak pergi. “Pa, pinjam laptop. Mau menyelesaikan tugas sekolah.”

            Aku mengangguk.  “Ambil saja di kamar Papa.”

            Setelah Delia berlalu, Tante Lila mulai mengomel. “Anak sekarang memang kurang sopan.  Dikasih tahu bukannya berterima kasih, malah ngeloyor gitu aja.”

            Agar suasana mendingin, segera kuganti topik pembicaraan.  “Ehm, ada apa, ya, datang kemari?”

==  0 ==

Aku memandang Delia yang asyik mengetik dengan laptop. Puteriku ini memang berbeda. Kalau bicara terus-terang dan langsung tepat sasaran. Jangan harap mau berbasa-basi. Gadis rumahan yang hobi membaca berbagai jenis buku yang dipinjam dari teman-teman. Cenderung pendiam, tapi jangan coba-coba mengusik kesenangannya. 

Hanya saja, sejak dulu dia kurang serasi dengan paman dan tantenya. “Nak, kalau nggak suka dengan omongan mereka, janganlah sampai ketus begitu.” 

            “Gimana nggak kesal? Mereka hanya tahu mengkritik saja, Pa.  Ini salah, itu salah.  Harus begini, harus begitu.  Kenapa kalau aku suka baca buku?  Katanya ketinggalan zaman.  Aneh!”  Dia mengomel panjang-lebar

“Kalau kita berbeda ada saja komentar orang yang nyelekit.  Biasa itu. Tapi, janganlah pasang wajah cemberut. Kurang nyaman lihatnya lho.” Aku mengingatkan karena bagaimana pun dia sebaiknya mengerti tata krama.

            Delia terdiam sebentar, kemudian menjawab walau agak lama.  “Iya, Pa.”

            Aku menepuk bahunya. Mudah-mudahan dia bisa bersikap lebih baik lain waktu.

==  0  ==

            Sore ini aku pulang dengan wajah letih.  Banyak pekerjaan di kantor yang harus diselesaikan.  Pikiranku tersita dengan tugas yang datang silih berganti.  Badan pegal karena selalu bergerak cepat menemui pelanggan. Belum lagi ketemu orang-orang rewel yang banyak maunya.  Begitu jam kerja usai, ingin sekali segera sampai di rumah dan beristirahat.

            Sesampai di rumah kulihat Delia dan Mamanya sudah menunggu di teras. Wajah mereka tampak sumringah.  Melihat kedatanganku, Dion juga keluar sambil tertawa lebar.

            “Tebak, Pa, ada berita apa?”  Delia langsung menyambutku setelah turun dari mobil, seperti tak sabar menyampaikan sesuatu.

            “Apa tuh?”  Aku benar-benar malas berpikir karena kelelahan.

            “Ya ... Papa!  Kok nggak mau nebak sih? Okelah, aku menang lomba menulis esai antar sekolah, Pa. Tingkat propinsi!”  Dia tersenyum riang.

            Kupandang mereka bertiga untuk meyakinkan.  Mamanya mengangguk pasti.

            “Selamat, Nak!”  Aku memeluknya bangga.

            “Asyik, kita makan-makan!”  Dion melompat gembira.

“Berarti selama ini kamu pinjam laptop Papa untuk mengerjakan esai?”  tanyaku.

“Tugas sekolah sekalian mengerjakan esai ini, Pa. Aku nggak berani cerita karena belum tahu hasilnya.” 

“Tidak sia-sia hobi membaca anakku ini.”  Mamanya memuji.

“Ehm .. ada satu hal lagi, Pa, aku punya usul. Gimana kalau uang hasil lomba dipakai sebagian untuk membantu melunasi utang ke Paman Hadi?  Aku mau bantu. Lumayan lho hadiahnya.”  Delia  menyampaikan dengan penuh semangat.

Aku dan Mamanya terperanjat. Lama kami saling bertatapan. Kemudian segera kugelengkan kepala.  “Tidak, itu tanggung-jawab Papa dan Mama.  Simpan saja uang itu untukmu.  Siapa tahu suatu hari nanti bisa beli laptop supaya nulisnya makin lancar.  Kami masih sanggup membayar utang.”

“Iya, itu hasil usahamu.  Masa dipakai untuk utang,” ujar Mamanya.

Dia berkata pelan. “Maaf ya, Pa, Ma, selama ini aku bukan mau memberontak pada paman dan tante.  Aku kesal karena kulihat Papa Mama sudah capek, tapi mereka terkesan acuh. Meminjamkan uang saja pakai bunga. Yang lain hanya tahu mengkritik. Seperti meremehkan keluarga kita.”

Aku menepuk bahunya lembut.  “Nggak usah dibawa ke hati.  Yang penting kita di rumah ini baik-baik saja, ya.  Sehat-sehat.  Ada selalu rezeki.”

Delia mengangguk dengan mata berbinar. Hilang sudah letihku karena ukiran prestasi si sulung. Tak terlukiskan rasa bangga padanya.

Penulis: Friska Julia

IG : @tgfairy

 

 

 

Generic placeholder image

DITULIS OLEH

Eureka Writer

Content Writer

Content Writter eurekabookhouse.co.id

New Entry