Saya bersekolah di salah satu sekolah berasrama yang bergengsi di Kota Malang. Saya menjadi satu dari lima puluh siswa yang beruntung karena dapat sekolah di sana meskipun bukan dari golongan kaya. Iya, saya mendapatkan beasiswa penuh di sekolah bercitra tersebut. Suatu hari ketika liburan semester tiba, parkiran asrama dipenuhi oleh mobil wali murid yang hendak menjemput putra/putrinya, termasuk ayah saya. Dari kejauhan saya sudah melihat tempat Ayah saya memarkir mobil. Karena mobilnya antik atau lebih tepatnya tua sehingga sangat mencolok jika bersanding dengan mobil-mobil mewah di sana. Ayah saya menyambut dengan hangat lalu bergegas keluar dari lingkungan asrama. Di perjalanan, ayah bercerita bahwa ia bertemu dengan kepala sekolah saya. Raut muka ayah berubah musam saat bercerita sehingga membuat saya penasaran akan kelanjutan ceritanya.
Ayah berkata, “Kepala sekolah kamu memandang remeh ayah karena ayah hanya mengenakan sandal jepit dan mobil tua. Beliau melengos ketika ayah hendak menjabat tangan beliau”.
Mendengar hal tersebut, hatiku terasa perih seperti kulit yang disayat. Ingin saya berbalik arah dan memaki siapapun yang telah membuat ayah saya sedih. Namun, niat gegabah itu saya urungkan.
Saya tampilkan ekspresi tertawa kecil kepada ayah sambil berkata, “Ayah juga sih, ada sandal bagus malah pake sandal jepit haha”.
Ayah saya yang sabar, bekerja keras demi mencukupi kebutuhan keluarga. Di bela-belain bekerja di bawah terik matahari dengan keringat yang berkucur di dahi, dan kulit yang kian gelap dan keriput.
“Demi Tuhan, saya tidak rela sedikit pun jika ada orang yang menyakiti hatinya!”
Saya telah membulatkan tekad bahwa saya akan menjadi siswa yang berprestasi dan membawa ayah naik ke atas panggung saat graduasi nanti. Dengan begitu, ayah akan bersalaman dengan kepala sekolah saya. Dan, saya akan menunjukkan kepada seisi dunia ini bahwa Ayah saya hebat karena telah mendidik putrinya menjadi hebat. Hari itu adalah hari perjuangan besar saya dimulai, dendam itu harus saya balaskan dengan cara yang benar, “saya harus berprestasi.” Saya mulai bertekad, belajar lebih kuat, berdoa lebih giat, dan tak lupa selalu menanamkan kebaikan agar terus melekat.
18 Mei 2019, prosesi graduasi masa putih abu-abu saya dilaksanakan. Di sebuah hotel mewah dengan dekorasi glamor, tamu undangan yang berkelas menengah ke atas hadir guna menambah pesona kemewahan duniawi ini. Acara berlangsung sesuai skenario, mulai dari pembukaan, sambutan, tarian hingga acara puncak yang ditunggu-tunggu. Kami, wasudawan dan wisudawati mengenakan toga khas sekolah kami dengan riasan wajah yang lebih dari hari biasanya. Kami, satu angkatan dengan jumlah 134 siswa naik ke atas panggung yang luas itu, berdiri di atas tamu undangan dan wali murid untuk menyanyikan beberapa lagu spesial untuk ayah bunda kami. Setelah itu, momen puncak yang saya tunggu-tunggu. Hasil perjuangan saya selama lebih dari dua tahun ini.
Suara menggelegar dari MC di aula yang megah itu, “Inilah, peraih 3 benar nilai ijazah tertinggi dari jurusan IPS”. Bulu kuduk saya merinding serta jantung berdetak lebih kencang dari biasanya. Peraih nilai tertinggi ketiga telah disebutkan, lalu kedua, namun nama saya belum terpanggil. Saya mulai memajamkan mata untuk menetralkan rasa gugup sampai
MC bersuara lagi, “Selamat kepada Ananda Qori’atul Septiavin putri dari Bapak Arifin sebagai peraih nilai ijazah tertinggi dengan perolehan nilai...”.
Mata saya mulai kabur menahan rasa haru ini. Namun, dengan samar saya melihat ayah dan ibu saya maju di atas panggung dengan rasa haru pula. Aula bak istana nan megah di pagi itu, diriuhkan oleh gemuruh tepuk tangan. Mereka bisa bangga dengan jabatan ataupun penghasilan yang berlimpah. Tetapi, mereka tidak bisa merasakan kebanggan ketika dapat maju di tengah kemegahan aula itu dengan menyandang orang tua dari siswa berprestasi. Hari itu, dengan mata kepada saya, saya melihat sang kepala sekolah itu menyerahkan penghargaan kepada saya dan mengucapkan selamat kepada orang tua saya.
Dengan jelas, saya melihat ayah dan ibu saya bangga namun dengan sedikit gemetar. Saya bisa merasakan bahwa tempat ini terlalu mewah untuk keluarga kami, untuk seorang ayah dengan pekerjaan buruh harian lepas. Tiba-tiba ayah harus berdiri di depan ratusan orang berkelas yang menyandang pangkat dan jabatan atau bisa dibilang orang yang bukan sekedar orang. Di situlah saya membuktikan bahwa Ayah dan Ibu saya adalah yang terhebat di antara orang-orang hebat di sana.
Awalnya, saya memang benci dengan kepada kepala sekolah saya karena hanya menilai seseorang dari fisik dan materi. Namun, kini saya berterima kasih karena setidaknya sakit hati itu terbalaskan dengan menyenangkan hati kedua orang tua saya, ayah dan ibu.
Merekalah pelita hidup saya. Janji saya adalah tidak akan mengecewakan perjuangan ayah dan ibu.
“Percayalah, Yah, Bu, saya akan menjadi orang hebat, seperti ayah dan ibu yang telah menjadi orang tua yang super terhebat. Suatu hari nanti, tidak ada lagi pekerjaan keras dan di tempat panas seperti yang sekarang ayah dan ibu perjuangkan. Bersabarlah, beberapa tahun lagi, saya bangunkan istana untuk kita. Kita, orang yang dipandang biasa, namun tidak ada suatu kemustahilan untuk kelak menjadi orang yang luar biasa."
Penulis: QORI’ATUL SEPTIAVIN
IG: @QALV
DITULIS OLEH
Content Writer
Content Writter eurekabookhouse.co.id